Sabtu, 02 Juni 2012

QAIDAH USHULIYAH



A.    QAIDAH AL-USHULIYAH
1.      Pengertian Qaidah Ushuliyah
Qaidah ushuliyah merupakan gabungan dari kata Qaidah dan ushuliyah, kaidah dalam bahasa Arab ditulis dengan qaidah, artinya patokan, pedoman dan titik tolak. Ada pula yang mengartikan dengan peraturan. Bentuk jamak qa’idah (mufrad) adalah qawa’id. Adapun ushuliyah berasal dari kata al-ashl, artinya pokok, dasar, atau dalil sebagai landasan. Jadi, qaidah ushuliyah adalah pedoman untuk menggali dalil syara’, titik tolak pengambilan dalil atau peraturan yang dijadikan metode penggalian hukum, kaidah ushuliyah disebut juga sebagai kaidah Istinbathiyah atau ada yang menyebut sebagai kaidah lughawiyah, kaidah ushuliyah adalah dasar-dasar pemaknaan terhadap kalimat atau kata yang digunakan dalam teks atau nash yang memberikan arti hukum tertentu dengan didasarkan kepada pengamatan kebahasaan dan kesusastraan Arab.[1]
Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si.[2] mengemukakan pengertian kaidah menurut Ahmad Muhammad Asy-Syafi’i dan Fathi Ridwan. Pengertian kaidah menurut Ahmad Muhammad Asy-Syafi’i adalah sebagai berikut :
ﺍﻠﻘﺎﻋﺩﺓ : ﺍﻠﻘﻀﺎﻴﺎ ﺍﻠﻜﻠﻴﺔ ﺍﻠﺘﻲ ﻴﻨﺩﺭﺝ ﺘﺤﺕ ﻜﻝ ﻭﺍﺤﺩ ﻤﻨﻬﺎ ﺤﻜﻡ ﺠﺯﺌﻴﺎﺕ ﻜﺜﻴﺭﺓ
Artinya :
“Hukum-hukum yang bersifat menyeluruh yang dijadikan jalan untuk terciptanya masing-masing hukum juz’i.”
Adapun menurut Fathi Ridwan pengertian kaidah itu adalah sebagai berikut :
ﺍﻠﻘﺎﻋﺩﺓ : ﺤﻜﻡ ﻜﻠﻲ ﻴﻨﻁﺒﻕ ﻋﻠﻰ ﺠﻤﻴﻊ ﺠﺯﺌﻴﺎﺘﻪ
Artinya :
“Hukum-hukum yang bersifat umum yang meliputi bagian-bagiannnya.”
Antara pengertian kaidah menurut Ahmad Muhammad Asy-Syafi’i dengan pengertian kaidah menurut Fathi Ridwan penulis simpulkan terdapat persamaan di antara keduanya, bahwa kaidah itu adalah hukum-hukum yang bersifat umum dan menyeluruh.
Dalil syara’ itu ada yang bersifat menyeluruh, universal, dan global (kulli dan mujmal) dan ada yang hanya ditujukan bagi suatu hukum tertentu dari suatu cabang hukum tertentu pula. Dalil yang bersifat menyeluruh itu disebut pula qaidah ushuliyah. Qaidah ushuliyah adalah sejumlah peraturan untuk menggali hukum. Qaidah ushuliyah itu umumnya berkaitan dengan ketentuan dalalah lafadz atau kebahasaan.[3]
Kaidah-kaidah ushuliyah menurut Prof. Dr. Muhammad Syabir adalah sebagai suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang dengannya bisa sampai pada pengambilan kesimpulan hukum syar’iyyah al-Far’iyyah dan dalil-dalilnya yang terperinci.[4]
Dari beberapa pengertian mengenai kaidah ushuliyah di atas penulis simpulkan bahwa kaidah ushuliyah itu merupakan sejumlah peraturan untuk menggali dalil-dalil syara’ sehingga didapatkan hukum syara’ dari dalil-dalil tersebut.
2.      Urgensi Qaidah Ushuliyah
Secara global, kaidah-kaidah ushul fiqh bersumber dari naql (Al-Qur’an dan Sunnah), ‘akal (prinsip-prinsip dan nilai-nilai), dan bahasa (ushul at-tahlil al-lughawi).[5] Qaidah ushuliyah itu berkaitan dengan bahasa. Dalam pada itu, sumber hukum adalah wahyu yang berupa bahasa. Oleh karena itu, qaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk mengganti ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu. Mengetahui qaidah ushuliyyah dapat mempermudah Faqih untuk mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya.[6]
Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si[7] mengemukakan bahwa kaidah ushuliyah itu sangat penting karena kaidah ushuliyah itu merupakan alat untuk menggali kandungan makna dan hukum yang tertuang dalam nash Al-Qur’an dan As-Sunnah kaidah ushuliyah merupakan modal utama memproduk fiqh. Tanpa kaidah ushuliyah, pengamalan hukum Islam cenderung belum semuanya mengelupas jenis-jenis hukum suatu perbuatan. Beliau juga mengemukakan pendapat Abdul Wahhab Khallaf dan Abdul Hamid Hakim yang mengatakan bahwa penetapan hukum perintah, larangan, dan sebagainya, berikut penggalian dalil-dalil yang dijadikan hujjah syar’iyyah dalam hukum Islam merupakan fungsi utama dari kaidah ushuliyah.
3.      Jenis-jenis Qaidah Ushuliyah
Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si menjelaskan bahwa penerapan kaidah ushuliyah yang pertama adalah kaidah lughawiyah, yaitu kaidah bahasa yang berhubungan dengan kalimat-kalimat yang tersirat dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Adapun kaidah-kaidah tersebut adalah sebagai berikut:[8]
v  Kaidah ushuliyah yang berkaitan dengan amr yang menunjukkan kewajiban bagi mukallaf untuk mengamalkannya. Kaidah-kaidahnya adalah
ﺍﻻ ﺼﻝ ﻓﻲ ﺍﻻﻤﺭ ﻠﻠﻭﺠﻭﺏ
Artinya : “Asal dari perintah itu wajib”
Contohnya dalam surat Al-Baqarah ayat : 43


v  Kaidah kedua :
ﺍﻻ ﺼﻝ ﻓﻲ ﺍﻻﻤﺭ ﻠﻠﻨﺩ ﺏ
Artinya : “Asal dari perintah itu hukumnya sunnat.”
Contohnya dalam surat Al-Baqarah ayat 60.
v  Kaidah ushuliyah yang berhubungan dengan larangan (nahy)
ﺍﻻﺼﻝ ﻓﻲﺍﻠﻨﻬﻲ ﻠﻠﺘﺤﺭﻴﻡ
Artinya : “Asal dari larangan itu hukumnya haram.”
Contohnya larangan membuat kerusakan di muka bumi dalam surat Al-Baqarah ayat 11.

v  Kaidah yang menunjukkan pada umum yang melengkapi dan melingkupi semua yang khusus, misalnya kaidah :
ﺍﻠﻌﻤﻭﻡ ﻤﻥ ﻋﻭﺍﺭﺽ ﺍﻻﻠﻔﺎﻅ
Artinya: “Keumuman itu yang dimaksudkan adalah lafazhnya.”
ﺍﻠﻌﻤﻭﻡ ﻻﻴﺘﻭﺼﺭ ﻓﻲﺍﻻﺤﻜﺎﻡ
Artinya: “Keumuman itu tidak dapat menggambarkan suatu hukum.”
ﺍﻠﻌﺎﻡ ﻋﻤﻭﻤﻪ ﺸﻤﻭﻠﻲ ﻭﻋﻤﻭﻡ ﺍﻠﻤﻁﻠﻕ ﺒﺩﻠﻲ
Artinya: “Al-‘Am itu umumnya bersifat menyeluruh, sedangkan lafazh umum yang mutlak hanya bersifat sebagian.”

v  Kaidah yang berkaitan dengan khas atau khusus, misalnya :
ﺍﻥ ﺍﻠﺘﺨﺼﻴﺹ ﺍﻠﻌﻤﻭﻤﺎﺕ ﺠﺎﺌﺯ
Artinya: “Sesungguhnya pengkhususan lafazh umum adalah diperbolehkan.”
ﺍﻠﺼﻔﺔ ﻤﻥﺍﻠﻤﺨﺼﺼﺎﺕ
Artinya: “Sifat itu bagian dari pengkhususan.”

v  Kaidah muthlaq dan muqayyad, misalnya:
ﺍﻠﻤﻁﻠﻕ ﻴﺤﻤﻝ ﻋﻠﻰ ﺍﻠﻤﻘﻴﺩ ﺍﺫﺍ ﺍﺘﻔﻕ ﻓﻲ ﺍﻠﺴﺒﺏ ﻭﺍﻠﺤﻜﻡ
Artinya: “Mutlak itu dibawa ke muqayyad jika sebab dan hukumnya sama.”
ﺍﻠﻤﻁﻠﻕ ﻴﺤﻤﻝ ﻋﻠﻰ ﺍﻠﻤﻘﻴﺩ ﻭﺍﻥ ﺍﺨﺘﻠﻑ ﻓﻲ ﺍﻠﺴﺒﺏ
Artinya: “Mutlak itu dibawa ke muqayyad jika sebabnya berbeda.”

v  Kaidah mujmal dan mubayyin, misalnya :
ﺘﺄ ﺨﻴﺭ ﺍﻠﺒﻴﺎﻥ ﻋﻥ ﻭﻗﺕ ﺍﻠﺤﺎﺠﺔ ﻻﻴﺠﻭﺯ
Artinya: “Mengakhirkan penjelasan pada saat dibutuhkan itu tidak diperbolehkan.”
ﺘﺄ ﺨﻴﺭ ﺍﻠﺒﻴﺎﻥ ﻋﻥ ﻭﻗﺕ ﺍﻠﺨﻁﺎﺏ ﻴﺠﻭﺯ
Artinya: “Diperbolehkan mengakhirkan penjelasan pada saat dititahkan sesuatu.”

v  Kaidah yang berkaitan dengan muradif dan musytarak, misalnya:
ﺍﺴﺘﻌﻤﺎﻝ ﺍﻠﻤﺸﺘﺭﻙ ﻔﻲ ﻤﻌﻨﻴﻪ ﺍﻭﻤﻌﺎﻨﻴﻪ ﻴﺠﻭﺯ
Artinya: “Penggunaan musytarak pada yang dikehendaki ataupun beberapa maknanya itu diperbolehkan.”

v  Kaidah yang berkaitan dengan manthuq (tersurat/tekstual) mafhum (tersirat/kontekstual). Misalnya kaidah :
ﻭﺠﻤﻴﻊ ﻤﻔﺎﻫﻴﻡ ﺍﻠﻤﺨﺎﻠﻔﺔ ﺤﺠﺔ ﺍﻻ ﻤﻔﻬﻭﻡ ﺍﻠﻠﻘﺏ
Artinya: “Semua mafhum mukhalafah dapat dijadikan hujjah, kecuali mafhum laqab.”

v  Kaidah yang berhubungan dengan zhahir dan muawwal, misalnya:
ﺍﻠﻔﺭﻭﻉ ﻴﺩﺨﻠﻪ ﺍﻠﺘﺄﻭﻴﻝ ﺍﺘﻔﺎﻗﺎ
Artinya: “Masalah cabang dapat dimasuki takwil secara ittifaq.”

v  Kaidah yang berhubungan dengan nasikh-mansukh, misalnya:

ﺍﻠﻘﻁﻌﻲ ﻻﻴﻨﺴﺨﻪ ﺍﻠﻅﻥ
Artinya: “Dalil qath’i tidak dapat dihapus dengan dalil zhanni.”
ﺍﻠﻨﺴﺦ ﺒﻼ ﺒﺩﻝ ﻴﺠﻭﺭ
Artinya : “Penghapusan tanpa adanya pengganti diperbolehkan.”
Menurut beliau, selain kaidah lughawiyah, sebenarnya ada pula kaidah tasyri’iyah, tetapi acuan pokoknya tetap kaidah bahasa. Kaidah yang kedua ini akan penulis jelaskan secara terpisah di makalah ini setelah pembahasan kaidah ushuliyah.
Adapun contoh-contoh qaidah ushuliyyah yang dipaparkan oleh prof. Dr. Rachmat Syafe’i,MA. adalah sebagai berikut:[9]
a.       Kaidah :
ﺍﻠﻌﺒﺭﺓ ﺒﻌﻤﻭﻡ ﺍﻠﻠﻔﻅ ﻻﺒﺨﺼﻭﺹ ﺍﻠﺴﺒﺏ
Artinya: “Yang dipandang dasar (titik talak) adalah petunjuk umum dasar lafazh bukan sebab khusus (latar belakang kejadian).

b.      Kaidah :
ﺍﺫﺍ ﺍﺠﺘﻤﻊ ﺍﻠﻤﻘﺘﻀﻰ ﻭﺍﻠﻤﺎﻨﻊ ﻗﺩﻡ ﺍﻠﻤﺎﻨﻊ
Artinya : “Bila dalil yang menyuruh bergabung dengan dalil yang melarang maka didahulukan dalil yang melarang.”

c.       Kaidah :
ﻻﻋﺒﺭﺓ ﻠﻠﺩﻻﻠﺔ ﻔﻲ ﻤﻘﺎﺒﻠﺔ ﺍﻠﺘﺼﺭﻴﺢ
Artinya: “Makna implisit tidak dijadikan dasar bila bertentangan dengan makna eksplisit.”

d.      Kaidah :
ﺍﻠﻨﻜﺭﺓ ﻔﻲ ﻤﻘﺎﻡ ﺍﻠﻨﻔﻲ ﺘﻔﻴﺩ ﺍﻠﻌﻤﻭﻡ
Artinya : “Lafazh nakirah dalam kalimat negatif (nafi) mengandung pengertian umum.”

e.       Kaidah :
ﺍﻠﻨﺹ ﻤﻘﺩﻡ ﻋﻠﻰ ﺍﻠﻅﺎﻫﺭ
Artinya : “Petunjuk nash didahulukan daripada petunjuk zahir.”

f.       Kaidah :
ﺍﻻﻤﺭ ﻴﻔﻴﺩ ﺍﻠﻭﺠﻭﺏ
Artinya : “Petunjuk perintah (amr) menunjukan wajib.”

g.      Kaidah :
ﻻﻤﺴﺎﻍ ﻠﻼ ﺠﺘﻬﺎﺩ ﻔﻰ ﻤﻭﺭﻭﺩ ﺍﻠﻨﺹ
Artinya : “Tidak dibenarkan berijtihad dalam masalah yang ada nash-nya.”

h.      Kaidah :
ﺍﻠﻤﻁﻠﻕ ﻴﺤﻤﻝ ﺍﻠﻤﻘﻴﺩ
Artinya : “Dalalah lafazh mutlak dibawa pada dalalah lafazh muqayyah.”

i.        Kaidah :
ﺍﻻﻤﺭ ﺒﺎﻠﺸﻴﺊ ﻨﻬﻲ ﻋﻥ ﻀﺩﻩ
Artinya : “Perintah terhadap sesuatu berarti larangan atas kebalikannya.

B.     QAIDAH AL-TASYRI’IYAH
1.      Pengertian Qaidah Al-Tasyri’iyah
Qaidah al-tasyri’iyah terdiri dari dua kata yaitu qaidah dan al-tasyri’iyah. Apa yang dimaksud dengan kaidah, secara jelas telah penulis bahas pada pembahasan qaidah al-ushuliyah. Adapun yang dimaksud dengan al-tasyri’iyah akan diterangkan berikut ini.
Dr. Juhaya S. Praja[10] mengemukakan bahwa dalam bahasa Arab dijumpai kata shara’a yang berarti membuat jalan raya, suatu jalan besar yang menjadi jalan utama, dengan demikian, kata tasyri’ berarti pembentukan jalan raya itu. Terdapat dua macam tasyri’, antara lain tasyri’ samawiy dan tasyri’ wad’iy. Tasyri’ Samawiy yaitu peraturan perundang-undangan yang murni dari pembuat hukum, yaitu Allah. Adapun tasyri’ wad’iy ialah peraturan perundang-undangan yang dibuat dan dirumuskan oleh manusia yang didasarkan atau dengan referensi tasyri’ samawiy.
Kaidah perundang-undangan yang dalam istilah ahli ushul fiqhi dikenal dengan nama Qawa’idut-Tasyri’iyah ialah tata aturan yang dibuat pedoman oleh pembuat undang-undang dalam menyusun undang-undang dan merealisir tujuan yang ingin dicapainya melalui pemberian beban kewajiban kepada orang-orang mukallaf.[11]
Dari definisi di atas diketahui bahwa qaidah al-tasyri’iyah itu sangat berguna terutama dalam proses penyusunan undang-undang. Undang-undang secara garis besar ada dua macam,[12] yaitu qanun tasyri’i (peraturan perundangan) dan qanun ijra’i (peraturan prosedural).
Qanun tasyri (peraturan perundangan) adalah undang-undang yang materinya berupa hukum syara’, atau aqidah, atau kaidah kulliyah syar’iyyah, atau sumber-sumber hukum syara’. Qanun ijra’i (peraturan prosedural) adalah undang-undang yang materinya berkaitan dengan sekumpulan cara (uslub), sarana (wasilah), dan alat (adawat) untuk melaksanakan hukum syara’ tertentu.
2.      Urgensi Qaidah Al-Tasyri’iyah
Menurut Juhaya S. Praja kata tasyri’ yang berarti pembentukan jalan raya kemudian digunakan dikalangan ahli hukum Islam dalam arti pembentukan teori-teori hukum Islam. Oleh karena itu, term tasyri’ berarti pembentukan hukum Islam secara sistematis; pembentukan hukum-hukum teoritis dan hukum-hukum praktis. Dengan demikian, di dalam term tasyri’ terkandung dua unsur, unsur wahyu dan unsur akal yang telah bekerja dalam menggali hukum –hukum yang disebut ijtihad.[13]
Sementara itu dijelaskan [14] bahwa para ulama ushul fiqh memperoleh kaidah-kaidah tasyri’iyah (kaidah-kaidah perundang-undangan) setelah mengadakan penelitian terhadap hukum-hukum syari’at, hikmah, illat dan sebab-sebab disyari’atkan suatu hukum, terhadap nash-nash yang menetapkan dasar-dasar pembuatan syari’at secara umum dan terperinci dan mengistimbathkan hukum dari nash-nash tersebut dan dari peristiwa yang belum ada nashnya, agar perundang-undangan tersebut dapat merealisir tujuan syari’at dalam mewujudkan kemaslahatan dan keadilan dan menghindarkan kerusakan dan ketidakadilan di antara manusia.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui dengan jelas bahwa kaidah tasyri’iyah itu sangatlah penting bagi kita semua. Kebutuhan manusia akan hal itu tak dapat dipungkiri. Kaidah perundang-undangan yang berfungsi meralisir tujuan syari’at yang mengatur kehidupan manusia sehingga terwujudnya kemaslahatan di tengah-tengah kehidupan mereka.
Pentingnya kaidah tesyri’iyah (kaidah perundang-undangan) bisa dilihat dari tujuan diciptakannya syari’at (undang-undang) itu sendiri. Muchtar Yahya dan Fatchur Rahman[15] mengemukakan bahwa syar’i dalam menciptakan syari’at (undang-undang) bukanlah serampangan, tanpa arah, melainkan bertujuan untuk merealisir kemaslahatan umum, memberikan kemanfaatan dan menghindarkan kemafsadatan bagi ummat manusia. Mereka berdua menjelaskan bahwa ada tiga macam tujuan umum perundang-undangan yang dikemukakan oleh para ulama ahli ushul, antara lain :
1.      Untuk memelihara Al-Umurudh-dharuriyah dalam kehidupan manusia. Yakni hal-hal yang menjadi sendi eksistensi kehidupan manusia yang harus ada demi kemaslahatan mereka. Artinya bila sendi-sendi itu tidak ada, kehidupan mereka menjadi kacau-balau, kemaslahatan tidak tercapai dan kebahagiaan ukhrawi tidak bakal dapat dinikmati.
2.      Untuk memenuhi Al-Umurul-hajiyah dalam kehidupan manusia. Yaitu hal-hal yang dihajatkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan dan menolak halangan. Artinya bila sekiranya hal-hal tersebut tidak ada, maka tidak sampai membawa tata aturan hidup manusia berantakan dan kacau melainkan hanya sekedar membuat kesulitan dan kesukaran saja.
3.      Untuk merealisir Al-Umurut-tahsiniyah, yaitu tindakan dan sifat yang harus dijauhi oleh akal yang sehat, dipegangi oleh adat kebiasaan yang bagus dan dihajati oleh kepribadian yang kuat. Artinya bila umurut tahsiniyah ini tidak dapat dipenuhi, maka kehidupan manusia tidaklah sekacau sekiranya urusan dharuriyah tidak diwujudkan dan tidak membawa kesusahan dan kesulitan seperti tidak dipenuhinya urusan hajiyah manusia. Akan tetapi, hanya dianggap kurang harmonis oleh pertimbangan nalar sehat dan suara hati nurani.

3.      Beberapa Contoh Qaidah Al-Tasyri’iyah
Dalam buku yang berjudul “Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh-Islami”[16] dijelaskan bahwa ada beberapa kaidah perundang-undangan. Antara lain:
1.      Al-Qur’an adalah sumber hukum yang pertama dan Al-Hadits adalah sumber hukum yang kedua.
2.      Peristiwa yang sudah ditunjuk oleh nash, baik Al-Qur’an maupun Al-Hadits, tidak boleh ditetapkan hukumnya berdasarkan pendapat logika (ra’yu).
3.      Peristiwa-peristiwa yang tidak ada nashnya atau sudah ada nashnya tetapi tidak qath’i dalalahnya ditetapkan hukumnya berdasarkan ijtihad. Baik ijtihad jama’i (kolektif) maupun ijtihad fardi (perseorangan).
4.      Keputusan dari ijtihad-jama’i (kolektif) harus didahulukan mengamalkannya daripada hasil pendapat dari ijtihad-fardi (perseorangan).
5.      Landasan utama ijtihad adalah Qiyas atau memelihara kemaslahatan orang banyak.
6.      Kedua macam ijtihad tersebut harus berlandaskan kepada muqayasah (saling mengadakan analogi suatu peristiwa dengan peristiwa yang lain). Analogi atas kejadian-kejadian khusus disebut Qiyas mutlaq dan analogi atas kejadian-kejadian umum disebut Qiyas mashlahah atau mashalihul-mursalah.

Sementara dalam buku yang berjudul “Ilmu Ushul Fiqh”[17] disebutkan bahwa kaidah tasyri’iyah itu acuan pokoknya tetap pada kaidah bahasa, misalnya kaidah:
ﻤﺎﻻﻴﺘﻡ ﺍﻠﻭﺍﺠﺏ ﺍﻻﺒﻪ ﻓﻬﻭ ﻭﺍﺠﺏ
Artinya : “Tidak sempurna kewajiban, kecuali menjalankan kewajiban yang lainnya.”
Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa kaidah di atas adalah kaidah hukum, karena menyebutkan kata wajib, yakni wajib yang dilaksanakan menjadi tidak sempurna sebelum melaksanakan kewajiban yang lain, misalnya melaksanakan shalat tanpa berwudhu lebih dahulu.
Sebab-sebab dikeluarkannya suatu tuntutan atau perintah yang kuat selalu mengikuti status hukum musababnya. Artinya jika status hukum musababnya wajib, maka wajib pula hukum sebab yang menjadi perantaranya. Begitu pun dengan larangan-larangan syari’at, sama halnya dengan perintah-perintah syari’at, mempunyai perantara-perantara, yang mengantar kepada perbuatan itu terlarang. Tidaklah logis apabila suatu perbuatan dilarang, sedang perantaranya dibolehkan. Oleh karena itu, perantara dari suatu larangan yang kuat seharusnya mengikuti status hukum yang diperantarai, yakni terlarang juga.
Dari ketentuan tersebut di atas, Prof. Dr. H. Muchtar Yahya dan Drs. Fatchur Rahman mengemukakan bahwa timbul dua kaidah yang penting. Yakni:[18]
1.       
ﻤﺎﻻﻴﺘﻡ ﺍﻠﻭﺍﺠﺏ ﺍﻻﺒﻪ ﻓﻬﻭ ﻭﺍﺠﺏ
Artinya : “Sesuatu yang menjadikan kewajiban sempurna karenanya adalah wajib adanya.”
2.       
ﺴﺩﺍﻠﺫﺭﻴﻌﺔ
Artinya : “Menutup jalan yang menuju ke perbuatan terlarang.”























[1] Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, CV. Pustaka Setia, 2009, hlm. 193-194.
[2] Ibid.
[3] Rachmat Syafe’i, Ulmu Ushul Fiqih (untuk UIN,STAIN,PTAIS), Bandung, Pustaka Setia, 2007, hlm.147.
[6] Rachmat Syafe’i.Loc.Cit.
[7] Beni Ahmad Saebani, Op.Cit.,hlm.194-195.
[8] Beni Ahmad Saebani, Ibid., hlm.195-207.
[9] Rachmat  Safe’i, Op.Cit.,hlm.148-149.
[10] Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, Bandung, Pusat Penerbitan Universitas LPPM Universitas Islam Bandung, 1995, hlm.11-12.
[11] Muchtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung, Al-Ma’arif, 1993, hlm. 331.
[12] http://www.scribd.com/doc/46540358/Artikel-Hukum-Islam
[13] Juhaya S. Praja, Loc.Cit.
[14] Muchtar Yahya dan Fatchur Rahman, Loc.Cit.
[15] Ibid,hlm.333-336.
[16] Ibid.,hlm.331.
[17] Beni Ahmad Saebani, Op.Cit.,hlm.207.
[18] Muchtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung, Al-Ma’arif, 1993, hlm.344.

4 komentar: