A.
QAIDAH AL-USHULIYAH
1.
Pengertian Qaidah Ushuliyah
Qaidah ushuliyah merupakan gabungan dari kata Qaidah
dan ushuliyah, kaidah dalam bahasa Arab ditulis dengan qaidah, artinya patokan,
pedoman dan titik tolak. Ada pula yang mengartikan dengan peraturan. Bentuk
jamak qa’idah (mufrad) adalah qawa’id. Adapun ushuliyah berasal dari kata
al-ashl, artinya pokok, dasar, atau dalil sebagai landasan. Jadi, qaidah
ushuliyah adalah pedoman untuk menggali dalil syara’, titik tolak pengambilan
dalil atau peraturan yang dijadikan metode penggalian hukum, kaidah ushuliyah
disebut juga sebagai kaidah Istinbathiyah atau ada yang menyebut sebagai kaidah
lughawiyah, kaidah ushuliyah adalah dasar-dasar pemaknaan terhadap kalimat atau
kata yang digunakan dalam teks atau nash yang memberikan arti hukum tertentu
dengan didasarkan kepada pengamatan kebahasaan dan kesusastraan Arab.[1]
Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si.[2]
mengemukakan pengertian kaidah menurut Ahmad Muhammad Asy-Syafi’i dan Fathi Ridwan.
Pengertian kaidah menurut Ahmad Muhammad Asy-Syafi’i adalah sebagai berikut :
ﺍﻠﻘﺎﻋﺩﺓ : ﺍﻠﻘﻀﺎﻴﺎ ﺍﻠﻜﻠﻴﺔ ﺍﻠﺘﻲ ﻴﻨﺩﺭﺝ ﺘﺤﺕ
ﻜﻝ ﻭﺍﺤﺩ ﻤﻨﻬﺎ ﺤﻜﻡ ﺠﺯﺌﻴﺎﺕ ﻜﺜﻴﺭﺓ
Artinya :
“Hukum-hukum yang bersifat menyeluruh yang dijadikan
jalan untuk terciptanya masing-masing hukum juz’i.”
Adapun menurut Fathi Ridwan pengertian kaidah itu
adalah sebagai berikut :
ﺍﻠﻘﺎﻋﺩﺓ : ﺤﻜﻡ ﻜﻠﻲ ﻴﻨﻁﺒﻕ ﻋﻠﻰ ﺠﻤﻴﻊ ﺠﺯﺌﻴﺎﺘﻪ
Artinya :
“Hukum-hukum yang bersifat umum yang meliputi
bagian-bagiannnya.”
Antara pengertian kaidah menurut Ahmad Muhammad
Asy-Syafi’i dengan pengertian kaidah menurut Fathi Ridwan penulis simpulkan
terdapat persamaan di antara keduanya, bahwa kaidah itu adalah hukum-hukum yang
bersifat umum dan menyeluruh.
Dalil syara’ itu ada yang bersifat menyeluruh,
universal, dan global (kulli dan mujmal) dan ada yang hanya ditujukan bagi
suatu hukum tertentu dari suatu cabang hukum tertentu pula. Dalil yang bersifat
menyeluruh itu disebut pula qaidah ushuliyah. Qaidah ushuliyah adalah sejumlah
peraturan untuk menggali hukum. Qaidah ushuliyah itu umumnya berkaitan dengan
ketentuan dalalah lafadz atau kebahasaan.[3]
Kaidah-kaidah ushuliyah menurut Prof. Dr. Muhammad
Syabir adalah sebagai suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang dengannya
bisa sampai pada pengambilan kesimpulan hukum syar’iyyah al-Far’iyyah dan
dalil-dalilnya yang terperinci.[4]
Dari beberapa pengertian mengenai kaidah ushuliyah
di atas penulis simpulkan bahwa kaidah ushuliyah itu merupakan sejumlah
peraturan untuk menggali dalil-dalil syara’ sehingga didapatkan hukum syara’
dari dalil-dalil tersebut.
2.
Urgensi Qaidah Ushuliyah
Secara global, kaidah-kaidah ushul fiqh bersumber
dari naql (Al-Qur’an dan Sunnah), ‘akal (prinsip-prinsip dan nilai-nilai), dan
bahasa (ushul at-tahlil al-lughawi).[5]
Qaidah ushuliyah itu berkaitan dengan bahasa. Dalam pada itu, sumber hukum
adalah wahyu yang berupa bahasa. Oleh karena itu, qaidah ushuliyyah berfungsi
sebagai alat untuk mengganti ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu)
itu. Mengetahui qaidah ushuliyyah dapat mempermudah Faqih untuk mengetahui
hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya.[6]
Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si[7]
mengemukakan bahwa kaidah ushuliyah itu sangat penting karena kaidah ushuliyah
itu merupakan alat untuk menggali kandungan makna dan hukum yang tertuang dalam
nash Al-Qur’an dan As-Sunnah kaidah ushuliyah merupakan modal utama memproduk fiqh.
Tanpa kaidah ushuliyah, pengamalan hukum Islam cenderung belum semuanya
mengelupas jenis-jenis hukum suatu perbuatan. Beliau juga mengemukakan pendapat
Abdul Wahhab Khallaf dan Abdul Hamid Hakim yang mengatakan bahwa penetapan
hukum perintah, larangan, dan sebagainya, berikut penggalian dalil-dalil yang
dijadikan hujjah syar’iyyah dalam hukum Islam merupakan fungsi utama dari kaidah
ushuliyah.
3.
Jenis-jenis Qaidah Ushuliyah
Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si menjelaskan bahwa
penerapan kaidah ushuliyah yang pertama adalah kaidah lughawiyah, yaitu kaidah
bahasa yang berhubungan dengan kalimat-kalimat yang tersirat dalam Al-Qur’an
maupun As-Sunnah. Adapun kaidah-kaidah tersebut adalah sebagai berikut:[8]
v Kaidah ushuliyah yang berkaitan dengan
amr yang menunjukkan kewajiban bagi mukallaf untuk mengamalkannya. Kaidah-kaidahnya
adalah
ﺍﻻ ﺼﻝ ﻓﻲ ﺍﻻﻤﺭ ﻠﻠﻭﺠﻭﺏ
Artinya : “Asal dari perintah itu wajib”
Contohnya dalam surat Al-Baqarah ayat : 43
v Kaidah kedua :
ﺍﻻ ﺼﻝ ﻓﻲ ﺍﻻﻤﺭ ﻠﻠﻨﺩ ﺏ
Artinya : “Asal dari perintah itu hukumnya sunnat.”
Contohnya dalam surat Al-Baqarah ayat 60.
v Kaidah ushuliyah yang berhubungan dengan
larangan (nahy)
ﺍﻻﺼﻝ ﻓﻲﺍﻠﻨﻬﻲ ﻠﻠﺘﺤﺭﻴﻡ
Artinya : “Asal dari larangan itu hukumnya haram.”
Contohnya larangan membuat kerusakan di muka bumi
dalam surat Al-Baqarah ayat 11.
v Kaidah yang menunjukkan pada umum yang
melengkapi dan melingkupi semua yang khusus, misalnya kaidah :
ﺍﻠﻌﻤﻭﻡ ﻤﻥ ﻋﻭﺍﺭﺽ ﺍﻻﻠﻔﺎﻅ
Artinya: “Keumuman itu yang dimaksudkan adalah
lafazhnya.”
ﺍﻠﻌﻤﻭﻡ ﻻﻴﺘﻭﺼﺭ ﻓﻲﺍﻻﺤﻜﺎﻡ
Artinya: “Keumuman itu tidak dapat menggambarkan
suatu hukum.”
ﺍﻠﻌﺎﻡ ﻋﻤﻭﻤﻪ ﺸﻤﻭﻠﻲ ﻭﻋﻤﻭﻡ ﺍﻠﻤﻁﻠﻕ ﺒﺩﻠﻲ
Artinya: “Al-‘Am itu umumnya bersifat menyeluruh,
sedangkan lafazh umum yang mutlak hanya bersifat sebagian.”
v Kaidah yang berkaitan dengan khas atau
khusus, misalnya :
ﺍﻥ ﺍﻠﺘﺨﺼﻴﺹ ﺍﻠﻌﻤﻭﻤﺎﺕ ﺠﺎﺌﺯ
Artinya: “Sesungguhnya pengkhususan lafazh umum
adalah diperbolehkan.”
ﺍﻠﺼﻔﺔ ﻤﻥﺍﻠﻤﺨﺼﺼﺎﺕ
Artinya: “Sifat itu bagian dari pengkhususan.”
v Kaidah muthlaq dan muqayyad, misalnya:
ﺍﻠﻤﻁﻠﻕ ﻴﺤﻤﻝ ﻋﻠﻰ ﺍﻠﻤﻘﻴﺩ ﺍﺫﺍ ﺍﺘﻔﻕ ﻓﻲ ﺍﻠﺴﺒﺏ
ﻭﺍﻠﺤﻜﻡ
Artinya: “Mutlak itu dibawa ke muqayyad jika sebab
dan hukumnya sama.”
ﺍﻠﻤﻁﻠﻕ ﻴﺤﻤﻝ ﻋﻠﻰ ﺍﻠﻤﻘﻴﺩ ﻭﺍﻥ ﺍﺨﺘﻠﻑ ﻓﻲ ﺍﻠﺴﺒﺏ
Artinya: “Mutlak itu dibawa ke muqayyad jika
sebabnya berbeda.”
v Kaidah mujmal dan mubayyin, misalnya :
ﺘﺄ ﺨﻴﺭ ﺍﻠﺒﻴﺎﻥ ﻋﻥ ﻭﻗﺕ ﺍﻠﺤﺎﺠﺔ ﻻﻴﺠﻭﺯ
Artinya: “Mengakhirkan penjelasan pada saat
dibutuhkan itu tidak diperbolehkan.”
ﺘﺄ ﺨﻴﺭ ﺍﻠﺒﻴﺎﻥ ﻋﻥ ﻭﻗﺕ ﺍﻠﺨﻁﺎﺏ ﻴﺠﻭﺯ
Artinya: “Diperbolehkan mengakhirkan penjelasan pada
saat dititahkan sesuatu.”
v Kaidah yang berkaitan dengan muradif dan
musytarak, misalnya:
ﺍﺴﺘﻌﻤﺎﻝ ﺍﻠﻤﺸﺘﺭﻙ ﻔﻲ ﻤﻌﻨﻴﻪ ﺍﻭﻤﻌﺎﻨﻴﻪ ﻴﺠﻭﺯ
Artinya: “Penggunaan musytarak pada yang dikehendaki
ataupun beberapa maknanya itu diperbolehkan.”
v Kaidah yang berkaitan dengan manthuq
(tersurat/tekstual) mafhum (tersirat/kontekstual). Misalnya kaidah :
ﻭﺠﻤﻴﻊ ﻤﻔﺎﻫﻴﻡ ﺍﻠﻤﺨﺎﻠﻔﺔ ﺤﺠﺔ ﺍﻻ ﻤﻔﻬﻭﻡ ﺍﻠﻠﻘﺏ
Artinya: “Semua mafhum mukhalafah dapat dijadikan
hujjah, kecuali mafhum laqab.”
v Kaidah yang berhubungan dengan zhahir
dan muawwal, misalnya:
ﺍﻠﻔﺭﻭﻉ ﻴﺩﺨﻠﻪ ﺍﻠﺘﺄﻭﻴﻝ ﺍﺘﻔﺎﻗﺎ
Artinya: “Masalah cabang dapat dimasuki takwil
secara ittifaq.”
v Kaidah yang berhubungan dengan nasikh-mansukh,
misalnya:
ﺍﻠﻘﻁﻌﻲ ﻻﻴﻨﺴﺨﻪ ﺍﻠﻅﻥ
Artinya: “Dalil qath’i tidak dapat dihapus dengan
dalil zhanni.”
ﺍﻠﻨﺴﺦ ﺒﻼ ﺒﺩﻝ ﻴﺠﻭﺭ
Artinya : “Penghapusan tanpa adanya pengganti
diperbolehkan.”
Menurut beliau, selain kaidah lughawiyah, sebenarnya
ada pula kaidah tasyri’iyah, tetapi acuan pokoknya tetap kaidah bahasa. Kaidah
yang kedua ini akan penulis jelaskan secara terpisah di makalah ini setelah
pembahasan kaidah ushuliyah.
Adapun contoh-contoh qaidah ushuliyyah yang
dipaparkan oleh prof. Dr. Rachmat Syafe’i,MA. adalah sebagai berikut:[9]
a. Kaidah :
ﺍﻠﻌﺒﺭﺓ ﺒﻌﻤﻭﻡ ﺍﻠﻠﻔﻅ ﻻﺒﺨﺼﻭﺹ ﺍﻠﺴﺒﺏ
Artinya: “Yang dipandang dasar (titik talak) adalah
petunjuk umum dasar lafazh bukan sebab khusus (latar belakang kejadian).
b. Kaidah :
ﺍﺫﺍ ﺍﺠﺘﻤﻊ ﺍﻠﻤﻘﺘﻀﻰ ﻭﺍﻠﻤﺎﻨﻊ ﻗﺩﻡ ﺍﻠﻤﺎﻨﻊ
Artinya : “Bila dalil yang menyuruh bergabung dengan
dalil yang melarang maka didahulukan dalil yang melarang.”
c. Kaidah :
ﻻﻋﺒﺭﺓ ﻠﻠﺩﻻﻠﺔ ﻔﻲ ﻤﻘﺎﺒﻠﺔ ﺍﻠﺘﺼﺭﻴﺢ
Artinya: “Makna implisit tidak dijadikan dasar bila
bertentangan dengan makna eksplisit.”
d. Kaidah :
ﺍﻠﻨﻜﺭﺓ ﻔﻲ ﻤﻘﺎﻡ ﺍﻠﻨﻔﻲ ﺘﻔﻴﺩ ﺍﻠﻌﻤﻭﻡ
Artinya : “Lafazh nakirah dalam kalimat negatif (nafi)
mengandung pengertian umum.”
e. Kaidah :
ﺍﻠﻨﺹ ﻤﻘﺩﻡ ﻋﻠﻰ ﺍﻠﻅﺎﻫﺭ
Artinya : “Petunjuk nash didahulukan daripada
petunjuk zahir.”
f. Kaidah :
ﺍﻻﻤﺭ ﻴﻔﻴﺩ ﺍﻠﻭﺠﻭﺏ
Artinya : “Petunjuk perintah (amr) menunjukan
wajib.”
g. Kaidah :
ﻻﻤﺴﺎﻍ ﻠﻼ ﺠﺘﻬﺎﺩ ﻔﻰ ﻤﻭﺭﻭﺩ ﺍﻠﻨﺹ
Artinya : “Tidak dibenarkan berijtihad dalam masalah
yang ada nash-nya.”
h. Kaidah :
ﺍﻠﻤﻁﻠﻕ ﻴﺤﻤﻝ ﺍﻠﻤﻘﻴﺩ
Artinya : “Dalalah lafazh mutlak dibawa pada dalalah
lafazh muqayyah.”
i.
Kaidah
:
ﺍﻻﻤﺭ ﺒﺎﻠﺸﻴﺊ ﻨﻬﻲ ﻋﻥ ﻀﺩﻩ
Artinya : “Perintah terhadap sesuatu berarti
larangan atas kebalikannya.
B.
QAIDAH AL-TASYRI’IYAH
1.
Pengertian Qaidah Al-Tasyri’iyah
Qaidah al-tasyri’iyah terdiri dari dua kata yaitu
qaidah dan al-tasyri’iyah. Apa yang dimaksud dengan kaidah, secara jelas telah
penulis bahas pada pembahasan qaidah al-ushuliyah. Adapun yang dimaksud dengan
al-tasyri’iyah akan diterangkan berikut ini.
Dr. Juhaya S. Praja[10]
mengemukakan bahwa dalam bahasa Arab dijumpai kata shara’a yang berarti membuat
jalan raya, suatu jalan besar yang menjadi jalan utama, dengan demikian, kata
tasyri’ berarti pembentukan jalan raya itu. Terdapat dua macam tasyri’, antara
lain tasyri’ samawiy dan tasyri’ wad’iy. Tasyri’ Samawiy yaitu peraturan
perundang-undangan yang murni dari pembuat hukum, yaitu Allah. Adapun tasyri’
wad’iy ialah peraturan perundang-undangan yang dibuat dan dirumuskan oleh
manusia yang didasarkan atau dengan referensi tasyri’ samawiy.
Kaidah perundang-undangan yang dalam istilah ahli
ushul fiqhi dikenal dengan nama Qawa’idut-Tasyri’iyah ialah tata aturan yang
dibuat pedoman oleh pembuat undang-undang dalam menyusun undang-undang dan
merealisir tujuan yang ingin dicapainya melalui pemberian beban kewajiban
kepada orang-orang mukallaf.[11]
Dari definisi di atas diketahui bahwa qaidah al-tasyri’iyah
itu sangat berguna terutama dalam proses penyusunan undang-undang.
Undang-undang secara garis besar ada dua macam,[12]
yaitu qanun tasyri’i (peraturan perundangan) dan qanun ijra’i (peraturan prosedural).
Qanun tasyri (peraturan perundangan) adalah
undang-undang yang materinya berupa hukum syara’, atau aqidah, atau kaidah
kulliyah syar’iyyah, atau sumber-sumber hukum syara’. Qanun ijra’i (peraturan
prosedural) adalah undang-undang yang materinya berkaitan dengan sekumpulan
cara (uslub), sarana (wasilah), dan alat (adawat) untuk melaksanakan hukum
syara’ tertentu.
2.
Urgensi Qaidah Al-Tasyri’iyah
Menurut Juhaya S. Praja kata tasyri’ yang berarti
pembentukan jalan raya kemudian digunakan dikalangan ahli hukum Islam dalam
arti pembentukan teori-teori hukum Islam. Oleh karena itu, term tasyri’ berarti
pembentukan hukum Islam secara sistematis; pembentukan hukum-hukum teoritis dan
hukum-hukum praktis. Dengan demikian, di dalam term tasyri’ terkandung dua
unsur, unsur wahyu dan unsur akal yang telah bekerja dalam menggali hukum –hukum
yang disebut ijtihad.[13]
Sementara itu dijelaskan [14]
bahwa para ulama ushul fiqh memperoleh kaidah-kaidah tasyri’iyah (kaidah-kaidah
perundang-undangan) setelah mengadakan penelitian terhadap hukum-hukum
syari’at, hikmah, illat dan sebab-sebab disyari’atkan suatu hukum, terhadap
nash-nash yang menetapkan dasar-dasar pembuatan syari’at secara umum dan
terperinci dan mengistimbathkan hukum dari nash-nash tersebut dan dari
peristiwa yang belum ada nashnya, agar perundang-undangan tersebut dapat
merealisir tujuan syari’at dalam mewujudkan kemaslahatan dan keadilan dan
menghindarkan kerusakan dan ketidakadilan di antara manusia.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui
dengan jelas bahwa kaidah tasyri’iyah itu sangatlah penting bagi kita semua.
Kebutuhan manusia akan hal itu tak dapat dipungkiri. Kaidah perundang-undangan
yang berfungsi meralisir tujuan syari’at yang mengatur kehidupan manusia
sehingga terwujudnya kemaslahatan di tengah-tengah kehidupan mereka.
Pentingnya kaidah tesyri’iyah (kaidah perundang-undangan)
bisa dilihat dari tujuan diciptakannya syari’at (undang-undang) itu sendiri.
Muchtar Yahya dan Fatchur Rahman[15]
mengemukakan bahwa syar’i dalam menciptakan syari’at (undang-undang) bukanlah
serampangan, tanpa arah, melainkan bertujuan untuk merealisir kemaslahatan
umum, memberikan kemanfaatan dan menghindarkan kemafsadatan bagi ummat manusia.
Mereka berdua menjelaskan bahwa ada tiga macam tujuan umum perundang-undangan
yang dikemukakan oleh para ulama ahli ushul, antara lain :
1. Untuk memelihara Al-Umurudh-dharuriyah
dalam kehidupan manusia. Yakni hal-hal yang menjadi sendi eksistensi kehidupan
manusia yang harus ada demi kemaslahatan mereka. Artinya bila sendi-sendi itu
tidak ada, kehidupan mereka menjadi kacau-balau, kemaslahatan tidak tercapai
dan kebahagiaan ukhrawi tidak bakal dapat dinikmati.
2. Untuk memenuhi Al-Umurul-hajiyah dalam
kehidupan manusia. Yaitu hal-hal yang dihajatkan oleh manusia untuk
menghilangkan kesulitan-kesulitan dan menolak halangan. Artinya bila sekiranya
hal-hal tersebut tidak ada, maka tidak sampai membawa tata aturan hidup manusia
berantakan dan kacau melainkan hanya sekedar membuat kesulitan dan kesukaran
saja.
3. Untuk merealisir Al-Umurut-tahsiniyah,
yaitu tindakan dan sifat yang harus dijauhi oleh akal yang sehat, dipegangi oleh
adat kebiasaan yang bagus dan dihajati oleh kepribadian yang kuat. Artinya bila
umurut tahsiniyah ini tidak dapat dipenuhi, maka kehidupan manusia tidaklah
sekacau sekiranya urusan dharuriyah tidak diwujudkan dan tidak membawa
kesusahan dan kesulitan seperti tidak dipenuhinya urusan hajiyah manusia. Akan
tetapi, hanya dianggap kurang harmonis oleh pertimbangan nalar sehat dan suara
hati nurani.
3.
Beberapa Contoh Qaidah Al-Tasyri’iyah
Dalam buku yang berjudul “Dasar-dasar Pembinaan
Hukum Fiqh-Islami”[16]
dijelaskan bahwa ada beberapa kaidah perundang-undangan. Antara lain:
1. Al-Qur’an adalah sumber hukum yang
pertama dan Al-Hadits adalah sumber hukum yang kedua.
2. Peristiwa yang sudah ditunjuk oleh nash,
baik Al-Qur’an maupun Al-Hadits, tidak boleh ditetapkan hukumnya berdasarkan
pendapat logika (ra’yu).
3. Peristiwa-peristiwa yang tidak ada
nashnya atau sudah ada nashnya tetapi tidak qath’i dalalahnya ditetapkan
hukumnya berdasarkan ijtihad. Baik ijtihad jama’i (kolektif) maupun ijtihad
fardi (perseorangan).
4. Keputusan dari ijtihad-jama’i (kolektif)
harus didahulukan mengamalkannya daripada hasil pendapat dari ijtihad-fardi
(perseorangan).
5. Landasan utama ijtihad adalah Qiyas atau
memelihara kemaslahatan orang banyak.
6. Kedua macam ijtihad tersebut harus
berlandaskan kepada muqayasah (saling mengadakan analogi suatu peristiwa dengan
peristiwa yang lain). Analogi atas kejadian-kejadian khusus disebut Qiyas
mutlaq dan analogi atas kejadian-kejadian umum disebut Qiyas mashlahah atau
mashalihul-mursalah.
Sementara dalam buku yang berjudul
“Ilmu Ushul Fiqh”[17]
disebutkan bahwa kaidah tasyri’iyah itu acuan pokoknya tetap pada kaidah
bahasa, misalnya kaidah:
ﻤﺎﻻﻴﺘﻡ
ﺍﻠﻭﺍﺠﺏ ﺍﻻﺒﻪ ﻓﻬﻭ ﻭﺍﺠﺏ
Artinya : “Tidak sempurna
kewajiban, kecuali menjalankan kewajiban yang lainnya.”
Dalam buku tersebut dijelaskan
bahwa kaidah di atas adalah kaidah hukum, karena menyebutkan kata wajib, yakni
wajib yang dilaksanakan menjadi tidak sempurna sebelum melaksanakan kewajiban
yang lain, misalnya melaksanakan shalat tanpa berwudhu lebih dahulu.
Sebab-sebab dikeluarkannya suatu
tuntutan atau perintah yang kuat selalu mengikuti status hukum musababnya.
Artinya jika status hukum musababnya wajib, maka wajib pula hukum sebab yang
menjadi perantaranya. Begitu pun dengan larangan-larangan syari’at, sama halnya
dengan perintah-perintah syari’at, mempunyai perantara-perantara, yang
mengantar kepada perbuatan itu terlarang. Tidaklah logis apabila suatu
perbuatan dilarang, sedang perantaranya dibolehkan. Oleh karena itu, perantara
dari suatu larangan yang kuat seharusnya mengikuti status hukum yang
diperantarai, yakni terlarang juga.
Dari ketentuan tersebut di atas,
Prof. Dr. H. Muchtar Yahya dan Drs. Fatchur Rahman mengemukakan bahwa timbul
dua kaidah yang penting. Yakni:[18]
1.
ﻤﺎﻻﻴﺘﻡ ﺍﻠﻭﺍﺠﺏ ﺍﻻﺒﻪ ﻓﻬﻭ ﻭﺍﺠﺏ
Artinya : “Sesuatu yang menjadikan kewajiban
sempurna karenanya adalah wajib adanya.”
2.
ﺴﺩﺍﻠﺫﺭﻴﻌﺔ
Artinya : “Menutup jalan yang menuju ke perbuatan
terlarang.”
[1] Beni Ahmad Saebani, Ilmu
Ushul Fiqh, Bandung, CV. Pustaka Setia, 2009, hlm. 193-194.
[2] Ibid.
[3] Rachmat Syafe’i, Ulmu Ushul
Fiqih (untuk UIN,STAIN,PTAIS), Bandung, Pustaka Setia, 2007, hlm.147.
[6] Rachmat Syafe’i.Loc.Cit.
[7] Beni Ahmad Saebani, Op.Cit.,hlm.194-195.
[8] Beni Ahmad Saebani, Ibid., hlm.195-207.
[9] Rachmat Safe’i, Op.Cit.,hlm.148-149.
[10] Juhaya S. Praja, Filsafat
Hukum Islam, Bandung, Pusat Penerbitan Universitas LPPM Universitas Islam
Bandung, 1995, hlm.11-12.
[11] Muchtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung, Al-Ma’arif, 1993,
hlm. 331.
[12] http://www.scribd.com/doc/46540358/Artikel-Hukum-Islam
[13] Juhaya S. Praja, Loc.Cit.
[14] Muchtar Yahya dan Fatchur Rahman, Loc.Cit.
[15] Ibid,hlm.333-336.
[16] Ibid.,hlm.331.
[17] Beni Ahmad Saebani, Op.Cit.,hlm.207.
[18] Muchtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung, Al-Ma’arif, 1993,
hlm.344.
kok ga bisa di download
BalasHapusشكرا جزيلا يا اختي
BalasHapusCoba sebutka 3 qaidah ushulyyah ?
BalasHapusCoba sebutka 3 qaidah ushulyyah ?
BalasHapus